Search Engine

Jumat, Agustus 15, 2008

Petani...Oh....Petani


Sejuknya mata memandang di kala terhampar luas bentangan sawah berwarna hijau dikala musim tanam atau kuning keemasan di saat musim panen tiba.
Akankah kita akan dapat selalu memandang hamparan luas yang indah tersebut di kala penghasilan yang diperoleh petani jauh di bawah komoditi lain seperti sawit atau karet. Lama kelamaan petani akan tergiur merubah lahannya jadi kebun sawit atau karet, apakah kita akan dapat mengkonsumsi nasi lagi?
Pada saat sekarang telah banyak lahan persawahan yang beralih fungsi menjadi lahan perkebunan.
Di Negara Indonesia, dukungan buat petani tidak memadai, dimana petani sering mengalami kelangkaan pupuk, harga dasar gabah yang rendah dan kurangnya pembinaan dan pelatihan bagi petani. Alangkah sedihnya nasib petani, mereka selalu terhimpit oleh masalah perekonomian, dihadapkan pada banyak dilema.
Saya ada membaca artikel di Kompas.com tentang nikmatnya menjadi petani di Amerika terutama di Minot, North Dakota. (di tulis oleh A. Wisnubrata)
Apa yang terjadi jika panen Pak Amat di Jambi atau Bang Lapuk di Bungo gagal? Keluarga mereka pasti akan mengalami kesulitan setelahnya. Bisa jadi mereka terpaksa makan nasi aking, menggadaikan barang-barang, dan menunggak bayaran sekolah anaknya. Tapi bila mereka adalah petani di Amerika Serikat, hal seperti itu sepertinya tak akan terjadi. Pasalnya pemerintah akan mengganti kerugian gagal panen mereka.
Jaminan dari pemerintah adalah salah satu kenikmatan yang didapat para petani. Selain jaminan gagal panen, para petani AS juga mendapat bantuan pengetahuan dan teknologi dari berbagai pihak, terutama universitas. Mereka bisa dengan mudah mendapat informasi bibit unggul terbaru, kondisi cuaca harian, bahkan harga berbagai jenis panenan. Itu artinya para petani diharapkan akrab dengan teknologi dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Jay Fisher, direktur Pusat Riset Distrik di North Dakota State University, petani memang sudah menggunakan internet untuk mencari berbagai informasi. "Petani di North Dakota sebagian besar memiliki akses internet dari rumahnya," ujar Fisher saat ditemui Senin (28/7) di pusat riset di pinggiran kota kecil Minot, North Dakota.
Selain di rumah, para petani dan peternak bisa berkumpul di pusat riset untuk mengikuti ceramah tentang produk pertanian atau peternakan. Bukan hanya mendengarkan para peneliti lokal, mereka juga bisa bertanya atau sharing dengan peneliti di lokasi lain secara teleconference. "Akibatnya petani menjadi akrab dengan teknologi. Mereka bahkan menentukan apa yang akan ditanam atau di mana hasil panen akan dijual melalui internet," ujar Fisher.
Kedekatan para petani terhadap teknologi juga terlihat dalam penggunaan alat-alat pertanian mereka. Selain mesin-mesin besar yang dipakai memanen, mereka juga memiliki perlengkapan penanda lokasi semacam GPS (global positioning system) yang bisa menuntun jalannya traktor sehingga tidak belok ke lahan orang. Alat ini sangat penting mengingat tiap petani menggarap rata-rata 1.000 hektar lahan. Dengan ketepatan alat ini, lahan-lahan pertanian terlihat rapi terkotak-kotak dari atas langit North Dakota.
Lalu hal apa yang bisa ditiru petani Indonesia? Sulit memang mencontoh penggunaan mesin-mesin besar dalam proses pertanian karena lahan para petani Indonesia tergolong amat kecil. Kebanyakan petani juga bukan pemilik lahan melainkan penggarap. Namun teknologi dan informasi tetap bisa dimanfaatkan. Petani sayur di Buleleng, Bali, misalnya sempat meneguk keuntungan setelah mereka melalui internet berhasil mengetahui kebutuhan pasar. Ada pula petani kacang di Jawa Timur yang menemukan pembeli setelah menjelajahi dunia maya. Tak jarang di antara mereka membentuk komunitas online untuk saling bertukar pikiran.
Permulaannya memang sulit. Kebanyakan petani Indonesia bercerita bahwa mereka sangat takut mengoperasikan komputer. Takut keliru, katanya. Tapi itu bukan hanya masalah di Indonesia. Petani Amerika pun mengalami hambatan serupa. "Awalnya sulit mengajak mereka memanfaatkan internet," papar Fisher. "Namun setelah beberapa orang mendapatkan manfaat, yang lain akhirnya tertarik."
Hal lain yang dirasa sangat membantu petani adalah mudahnya mengakses informasi pertanian lewat internet. Situs North Dakota State University misalnya menyediakan hasil-hasil penelitian mereka yang terbaru mengenai hama dan sistem pertanian. Itu juga pasti bisa dibangun di Indonesia. Yang sedikit sulit mungkin adalah memastikan petani akan mendapat ganti rugi bila panen mereka gagal. Namun bisa jadi itu bukan hal yang mustahil kelak. Dan bila sudah begitu, produk pertanian kita mungkin bisa bersaing di pasar dunia. Siapa tahu?
Sumber : http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/08/18040358/nikmatnya.jadi.petani.amerika
Hal ini merupakan pekerjaan rumah bagi para pemikir negara kita baik yang di badan legislatif maupun di badan eksekutif.

Tidak ada komentar: