Search Engine

Rabu, Juli 30, 2008

SUKU ANAK DALAM (Bag 4)

KARAKTERISTIK DAN KULTUR (4 of 5)
Ciri-ciri fisik dan non fisik
Suku anak dalam termasuk golongan ras mongoloid yang termasuk dalam migrasi pertama dari manusia proto melayu. Perawakannya rata-rata sedang, kulit sawo matang, rambut agak keriting, telapak kaki tebal, laki-laki dan perempuan yang dewasa banyak makan sirih.
Ciri fisik lain yang menonjol adalah penampilan gigi mereka yang tidak terawat dan berwarna kecoklatan. Hal ini terkait dengan kebiasaan mereka yang dari kecil nyaris tidak berhenti merokok serta rambut yang terlihat kusut karena jarang disisir dan hanya dibasahi saja.
Sedangkan dalam hal penampilan sehari hari, mereka memakai pakaian cawat untuk laki laki yang terbuat dari kain sarung, tetapi kalau mereka keluar lingkungan rimba ada yang sudah memakai baju biasa tetapi bawahnya tetap pakai cawat/kancut sedangkan yang perempuan memakai kain sarung yang dikaitkan sampai dada.
Tingkat kemampuan intelektual suku anak dalam dapat disebut masih rendah dan temperamen mereka pada umumnya keras dan pemalu. Walaupun masih terbatas, tetapi sudah terjadi interaksi sosial dengan masyarakat luas sehingga keterbukaan terhadap nilai nilai budaya luar semakin tampak.
Budaya Melangun
Seorang anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan bagi seluruh warga Suku, terutama pihak keluarganya. Kelompok mereka yang berada di sekitar rumah kematian akan pergi karena menganggap bahwa tersebut sial, selain untuk dapat lebih cepat melupakan kesedihan yang ada. Mereka meninggalkan tempat mereka tersebut dalam waktu yang cukup lama, yang pada jaman dulu bisa berlangsung antara 10 sampai 12 tahun. Namun kini karena wilayah mereka sudah semakin sempit (Taman Nasional Buki XII) karena banyak dijarah oleh orang, maka masa melangun menjadi semakin singkat yaitu sekitar 4 bulan sampai satu tahun. Wilayah melangun merekapun semakin dekat, tidak sejauh dahulu.
Pada masa sekarang apabila terjadi kematian di suatu daerah, juga tidak seluruh anggota Suku Anak Dalam tersebut yang pergi melangun. Hanya angota keluarga-keluarga mendiang saja yang melakukannya.
Pada saat kematian terjadi, seluruh anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia merasa sedih yang mendalam, mereka menangis dan meraung-raung selama satu minggu. Sebagian wanitanya sampai menghempas-hempaskan badannya ke pohon besar atau tanah, ada yang berteriak dan berkata-kata laa illa hail, ya Tuhan kami kembalikan nyawo urang kami yang mati.
Jenazah orang yang telah meninggal kemudian ditutup dengan kain dari mata kaki hingga menutupi kepala lalu diangkat oleh 3 orang dari sudung/rumah menuju peristirahatannya yang terakhir di sebuah pondok yang terletak lebih dari 4 Km ke dalam hutan.
Pondok jenazah ini jika untuk orang dewasa tingginya 12 undukan dari tanah, jika anak-anak tingginya 4 undukan dari tanah. Pondok ini diberi alas dari batang-batang kayu bulat kecil dan diberi atap daun-daun kering. Jenazah Suku Anak Dalam tidak dimandikan dan dikuburkan dalam tanah. Menurut tradisi meraka, orang yang sudah meninggal masih mungkin hidup kembali, jika mereka dikuburkan dalam tanah, maka orang yang sudah meninggal tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali menemui kelompoknya.
Kepercayaan tersebut bermula dari peristiwa dahulu kala dimana orang yang sudah sekarat (mungkin pingsan dalam waktu yang lama) ditinggalkan oleh kelompoknya di sebuah pondok di dalam hutan, dan kemudian ternyata ada di antara mereka yang dapat hidup dan sehat kembali serta pulang ke kelompoknya. Kejadian ini yang mengilhami meraka untuk tidak menguburkan jenazah orang yang sudah meninggal.
Anggota kelompok sesekali masih menengok pondok dimana jenazah tersebut diletakan, mereke menengok dari jarak jauh untuk memastikan keadaan jenazah. Dalam hal ini yang menjadi tabu buat mereka, yaitu pelarangan menyebut rekan/keluarganya yang sudah meninggal dunia karena hal ini akan membuat mereka merasa kembali kepada kesedihan yang mendalam. Mereka mengatakan janganlah kawan sebut-sebut lagi orang yang sudah mati.
Seloko Dan Mantera
Kehidupan Suku Anak Dalam sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang sudah diterapkan dalam bentuk seloko-seloko yang secara tegas dijadikan pedoman hukum oleh para pemimpin Suku, khususnya Tumenggung dalam membuat suatu keputusan. Seloko juga menjadi pedoman dalam bertutur kata dan bertingkah laku serta dalam kehidupan bermasyarakat Suku Anak Dalam. Bentuk seloko itu antara lain:
1. Bak emas dengan suasa
2. Bak tali berpintal tigo
3. Yang tersurat dan tersirat
4. Mengaji di atas surat
5. Banyak daun tempat berteduh
6. Meratap di atas bangkai
7. Dak teubah anjing makan tai (kebiasaan yang sulit di ubah )
8. Dimano biawak terjun disitu anjing tetulung (dimano kita berbuat salah disitu adat yang dipakai )
9. Dimano bumi di pijak disitu langit di junjung (dimana kita berada, disitu adat yang kita junjung, kita menyesuaikan diri)
10. Bini sekato laki dan anak sekato Bapak (bahwa dalam urusan keluarga sangat menonjol peran seorang laki – laki atau Bapak )
11. Titian galling tenggung negeri (Tidak ke sini juga tidak kesana/labil)
Seloko-seloko adat ini menurut mereka tidak hilang dan tidak bias (berubah). Seloko-seloko adat dan cerita asal usul mereka adalah cerita Tumenggung Kecik Pagar Alam Ngunci Lidah yang usianya pada saat laporan ini dibuat sekitar 80 tahun lebih.
Besale
Asal kata besale sampai saat ini belum diketahui, namun demikian dapat diartikan secara harafiah duduk bersama untuk bersama-sama memohon kepada Yang Kuasa agar diberikan kesehatan, ketentraman dan dihindarkan dari mara bahaya. Besale dilaksanakan pada malam hari yang dipimpin oleh seorang tokoh yang disegani yang disebut dukun. Tokoh ini harus memiliki kemampuan lebih dan mampu berkomunikasi dengan dunia ghaib/arwah.
Sesajian disediakan untuk melengkapi upacara. Pada intinya upacara besale merupakan kegiatan sakral yang bertujuan untuk mengobati anggota yang sakit atau untuk menolak bala. Pelengkap besale lainnya berupa bunyi-bunyian dan tarian yang mengiringi proses pengobatan.
Pengelolaan Sumberdaya Alam
Sebagaimana suku-suku terasing lainya di Indonesia, Orang Rimba yang selama hidupnya dan segala aktifitas dilakukan di hutan, juga memiliki budaya dan kearifan yang khas dalam mengelola sumberdaya alam. Hutan, yang bagi mereka merupakan harta yang tidak ternilai harganya, tempat mereka hidup, beranak-pinak, sumber pangan, sampai pada tempat dilakukannya adat istiadat yang berlaku bagi mereka. Begitupula dengan sungai sebagai sumber air minum dan berbagai fungsi lainnya. Perlu kita cermati disini adalah bagaimana cara mereka memperlakukan sumberdaya alam tersebut secara lestari dan berkelanjutan.
Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, Orang Rimba mengenal wilayah peruntukan seperti adanya Tanoh Peranokon, rimba, ladang, sesap, belukor dan benuaron. Peruntukan wilayah merupakan rotasi penggunaan tanah yang berurutan dan dapat dikatakan sebagai sistem suksesi sumberdaya hutan mereka. Hutan yang disebut rimba oleh mereka, diolah sebagai ladang sebagai suplai makanan pokok (ubi kayu, padi ladang, ubi jalar), kemudian setelah ditinggalkan berubah menjadi sesap. Sesap merupakan ladang yang ditinggalkan yang masih menghasilkan sumber pangan bagi mereka. Selanjutnya setelah tidak menghasilkan sumber makanan pokok, sesap berganti menjadi belukor. Belukor meski tidak menghasilkan sumber makanan pokok, tetapi masih menyisakan tanaman buah-buahan dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat bagi mereka seperti durian, duku, bedaro, tampui, bekil, nadai, kuduk kuya, buah sio, dekat, tayoy, buah buntor, rambutan, cempedak, petai, pohon sialong (jenis pohon kayu Kruing, Kedundung, Pulai, Kayu Kawon/Muaro Keluang), pohon setubung dan tenggeris (sebagai tempat menanam tali pusar bayi yang baru lahir), pohon benal (daunnya digunakan untuk atap rumah), kayu berisil (digunakan untuk tuba ikan) dan berbagai jenis rotan termasuk manau dan jernang.
Benuaron memiliki fungsi yang sangat besar bagi Orang Rimba, dimana selain berperan sebagai sumber makanan (buah-buahan) dan kayu bermanfaat (pohon benal, sialong, dan berisil) juga berperan sebagai tanoh peranokon. Tanah peranokon merupakan tempat yang sangat dijaga keberadaanya, tidak boleh dibuka atau dialih fungsikan untuk lahan kegiatan lain, misalnya untuk lahan perladangan atau kebun karena merupakan tempat proses persalinan ibu dalam melahirkan bayi. Tanoh peranokon yang dipilih biasanya yang relatif dekat dengan tempat permukiman atau ladang mereka serta sumber air atau sungai. Seiring berjalannya waktu, disaat seluruh tumbuhan yang terdapat di benuaron tersebut semakin besar dan tua, maka pada akhirnya benuaron tersebut kembali menjadi rimba.
Rotasi penggunaan sumberdaya hutan dari rimba menjadi ladang kemudian sesap, belukor dan benuaron, terakhir kembali menjadi rimba, merupakan warisan budaya mereka. Sehingga patut kita cermati juga bahwa Orang Rimba yang tergolong sebagai masyarakat terasing, ternyata memiliki kearifan tradisional dimana selama ini dilupakan oleh masyarakat atau pemerintah pusat.

Sumber : http://www.boergala.com/

Selasa, Juli 29, 2008

SUKU ANAK DALAM (Bag 3)

WILAYAH PERSEBARAN (3 of 5)
Daerah yang didiami oleh Suku Anak Dalam ada di kawasan Taman Nasional Bukit XII antara lain terdapat di daerah Sungai Sorenggom, Sungai Terap dan Sungai Kejasung Besar/Kecil, Sungai Makekal dan Sungai Sukalado. Nama-nama daerah tempat mereka bermukim mengacu pada anak-anak sungai yang ada di dekat permukiman mereka.
Kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas adalah kawasan hidup Orang Rimba yang dilindungi dan ditetapkan melalui Surat Usulan Gubernur Jambi No. 522/51/1973/1984 seluas 26.800 Ha. Ditetapkannya kawasan Bukit Dua Belas sebagai Cagar Biosfir, adalah karena kawasan ini memenuhi ciri-ciri atau kriteria yang sifatnya kualitatif yang mengacu pada kriteria umum Man and Biosphere Reserve Program, UNESCO seperti berikut:
1. Merupakan kawasan yang mempunyai keperwakilan ekosistem yang masih alami dan kawasan yang sudah mengalami degradasi, modifikasi dan atau binaan.
2. Mempunyai komunitas alam yang unik, langka dan indah.
3. Merupakan landscape atau bentang alam yang cukup luas yang mencerminkan interaksi antara komunitas alami dengan manusia beserta kegiatannya secara harmonis.
4. Merupakan tempat bagi penyelenggaraan pemantauan perubahan perubahan ekologi melalui kegiatan penelitian dan pendidikan (Dirjen PHPA, 1993).
Secara administratif kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas terletak di antara lima kabupaten yaitu kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, Tebo dan Batang Hari. Kelima kabupaten tersebut saling berbatasan di punggungan Bukit Duabelas. Kawasan yang didiami oleh Orang Rimba ini secara geografis adalah kawasan yang dibatasi oleh Batang Tabir di sebelah barat, Batang Tembesi di sebelah timur, Batang Hari di sebelah utara dan Batang Merangin di sebelah selatan. Selain itu, kawasan inipun terletak di antara beberapa jalur perhubungan yaitu lintas tengah Sumatera, lintas tengah penghubung antara kota Bangko-Muara Bungo-Jambi, dan lintas timur Sumatera. Dengan letak yang demikian, maka dapat dikatakan kawasan ini berada di tengah tengah propinsi Jambi.
Di kawasan Cagar Biosfir Bukit Duabelas yang merupakan wilayah tempat tinggal atau habitat Orang Rimba ini , terdapat tiga kelompok Orang Rimba yaitu kelompok Air Hitam di bagian selatan kawasan, Kejasung di bagian utara dan timur serta Makekal di bagian barat kawasan. Penamaan kelompok-kelompok tersebut disesuaikan dengan nama sungai tempat mereka tinggal. Seperti halnya masyarakat umum, Orang Rimba juga merupakan masyarakat yang sangat tergantung dengan keberadaan sungai sebagai sumber air minum, transportasi dan penopang aktifitas kehidupan lainnya. Orang Rimba hidup dalam kelompok kelompok kecil yang selalu menempati wilayah bantaran sungai baik di badan sungai besar ataupun di anak sungai dari hilir sampai ke hulu.
Walaupun mereka jarang menggunakan sungai sebagai tempat membersihkan dirinya, tetapi keberadaan sungai sebagai sarana kehidupan mereka terutama untuk kebutuhan air minum, sehingga pemukiman mereka selalu diarahkan tidak jauh dari anak anak sungai.
Wilayah Taman Nasional Bukit XII memiliki beberapa tempat tinggal lain di kaki bukitnya, dengan Bukit Dua Belas sebagai titik sentralnya. Dinamakan Bukit Dua Belas karena menurut Suku Anak Dalam, bukit ini memliki 12 undakan untuk sampai dipuncaknya. Di tempat inilah menurut mereka banyak terdapat roh nenek moyang mereka, dewa-dewa dan hantu-hantu yang bisa memberikan kekuatan.

Sumber : www.boergala.com

Senin, Juli 28, 2008

SUKU ANAK DALAM (Bag 2)

ASAL USUL SUKU ANAK DALAM (2 of 5)
Penyebutan Orang Rimba pertama kali dipublikasikan oleh Muntholib Soetomo tahun 1995 dalam desertasinya yang berjudul "Orang Rimbo" : Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat terasing di Makekal, "Propinsi Jambi". Penyebutan Orang Rimba dengan berakhiran huruf 'o' pada disertasi tersebut dipertentangkan oleh beberapa antropolog meski tidak ada perbedaan makna, tetapi akhiran 'o' pada sebutan Orang Rimbo merupakan dialek Melayu Jambi dan Minang. Sementara fakta yang sebenarnya adalah Orang Rimba tanpa akhiran 'o' (Aritonang).
Tentang asal usul Suku Anak Dalam (Muchlas, 1975) menyebutkan adanya berbagai hikayat dari penuturan lisan yang dapat ditelusuri seperti Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatra Tengah, Cerita Perang Bagindo Ali, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu. Dari hakikat tersebut Muchlas menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam berasal dari tiga turunan yaitu:
1. Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari
2. Keturunan dari Minangkabau, umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersam (Batanghari)
3. Keturunan dari Jambi Asli yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko (Muchlas, 1975)
Versi Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal usul Suku Anak Dalam dimulai sejak tahun 1624 ketika Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang sebenarnya masih satu rumpun, terus menerus bersitegang sampai pecahnya pertempuran di Air Hitam pada tahun 1929. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada 2 kelompok masyarakat anak dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) Berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan berpostur tubuh ras Mongoloid seperti orang palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan Palembang. Kelompok lainnya tinggal dikawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito ). Konon mereka tentara bayaran Kerajaan Jambi dari Negara lain.
Versi lain adalah cerita tentang Perang Jambi dengan Belanda yang berakhir pada tahun 1904, Pihak pasukan Jambi yang dibela oleh Anak Dalam yang di pimpin oleh Raden Perang. Raden Perang adalah seorang cucu dari Raden Nagasari. Dalam perang gerilya Anak Dalam terkenal dengan sebutan orang Kubu artinya orang yang tak mau menyerah pada penjajahan Belanda. Orang belanda disebutnya orang Kayo Putih sebagai lawan Raja Jambi (Orang Kayo Hitam).
Lebih lanjut tentang asal usul Suku Anak Dalam ini juga dimuat pada seri Profil masyarakat Terasing (BMT, Depsos, 1988 ) dengan kisah sebagai berikut: Pada zaman dahulu kala terjadi peperangan antara kerajaan Jambi yang di pimpin oleh Puti Selara Pinang Masak dan Kerajaan Tanjung Jabung yang dipimpim oleh Rangkayo Hitam. Peperangan ini semakin berkobar, hingga akhirnya di dengar oleh Raja Pagaruyung, yaitu ayah dari Puti Selara Pinang Masak.
Untuk menyelesaikan peperangan tersebut Raja Pagaruyung mengirimkan prajurit prajurit yang gagah berani untuk membantu kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Putri Selaras Pinang Masak. Raja Pagaruyung memerintah agar dapat menaklukkan Kerajaan Rangkayo Hitam, mereka menyanggupi dan bersumpah tidak akan kembali sebelum menang.
Jarak antara kerajaan Pagaruyung dengan kerajaan Jambi sangat jauh, harus melalui hutan rimba belantara dengan berjalan kaki. Perjalanan mereka sudah berhari hari lamanya, kondisi mereka sudah mulai menurun sedangkan persediaan bahan makanan sudah habis, mereka sudah kebingungan. Perjalanan yang ditempuh masih jauh, untuk kembali ke kerajaan Pagaruyung mereka merasa malu. Sehingga mereka bermusyawarah untuk mempertahankan diri hidup di dalam hutan. Untuk menghindarkan rasa malu, mereka mencari tempat tempat sepi dan jauh ke dalam rimba raya. Keadaan kehidupan mereka makin lama makin terpencil, keturunan mereka menamakan dirinya Suku Anak Dalam.
Dari uraian di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan (Koentjaraningrat, 1993) bahwa asal mula adanya masyarakat terasing dapat di bagi dua yaitu pertama, dengan menganggap bahwa masyarakat terasing itu merupakan sisa sisa dari suatu produk lama yang tertinggal di daerah daerah yang tidak dilewati penduduk sekarang, kedua bahwa mereka merupakan bagian dari penduduk sekarang yang karena peristiwa peristiwa tertentu diusir atau melarikan diri ke daerah daerah terpencil sehingga mereka tidak mengikut perkembangan dan kemajuan penduduk sekarang.
Tentang Suku Anak Dalam ini, Ruliyanto, Wartawan Tempo (Tempo, April 2002) menulis bahwa sejumlah artikel terakhir menyebutkan orang rimba merupakan kelompok melayu tua lainnya di Indonesia seperti orang Dayak, Sakai, Mentawai, Nias, Toraja, Sasak, Papua, dan Batak pedalaman. Kelompok Melayu Tua merupakan eksodus gelombang pertama yunani (Dekat Lembah Sungai Yang Tze di Cina Selatan) yang masuk ke Indonesia selatan tahun 2000 sebelum masehi. Mereka kemudian tersingkir dan lari ke hutan ketika kelompok melayu muda datang dengan mengusung peradaban yang lebih tinggi antara tahun 2000 dan 3000 sebelum masehi.
Menurut Van Dongen (1906) dalam Tempo (2002), menyebutkan bahwa orang rimba sebagai orang primitive yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama. Dalam hubungannya dengan dunia luar orang rimba mempraktekkan Silent trade, mereka melakukan transaksi dengan bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter, mereka meletakkannya di pinggir hutan, kemudian orang melayu akan mengambil dan menukarnya. Gonggongan anjing merupakan tanda barang telah ditukar.
Senada dengan Bernard Hagen (1908) dalam Tempo (2002) (die orang kubu auf Sumatra) menyatakan orang rimba sebagai orang pra melayu yang merupakan penduduk asli Sumatera. Demikian pula Paul Bescrta mengatakan bahwa orang rimba adalah proto melayu (melayu tua) yang ada di semenanjung Melayu yang terdesak oleh kedatangan melayu muda.
Sumber : http://www.boergala.com/

Kamis, Juli 24, 2008

SUKU ANAK DALAM

Suku Anak Dalam (1 of 5)
Suku Anak Dalam merupakan salah satu Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang ada di Propinsi Jambi, yang kehidupannya masih terikat kuat dengan adat istiadat dan ketergantungan pada hasil hutan/alam dan binatang buruan.
Pengertian Kubu dalam bahasa Melayu Jambi memiliki 2 arti yaitu tempat persembunyian dan bodoh. Nama ini berasal dari desa yang bernama Kubu Kandang dan Pangabuan, yang berada di tepi Sungai Batanghari. Kemungkinan desa-desa tersebut merupakan perkampungan awal mereka.
Pengertian Kubu yang berarti Bodoh jelas tidak enak didengar, karena ada kesan merendahkan, oleh karena itu mereka enggan disebut sebagai Orang Kubu, mereka lebih suka menyebut dirinya sebagai “Anak Dalam”, “Orang Rimbo” atau “Orang Kelam”, sedangkan orang desa di sekitarnya disebut “Orang Terang”.
Penyebutan terhadap Orang Rimba perlu diketahui terlebih dahulu, karena ada tiga sebutan yang mengandung makna yang berbeda, yaitu:
1. KUBU, merupakan sebutan yang paling populer digunakan terutama oleh orang Melayu dan masyarakat Internasional. Kubu dalam bahasa Melayu memiliki makna peyorasi seperti primitif, bodoh, kafir, kotor dan menjijikan. Sebutan Kubu telah terlanjur populer terutama oleh berbagai tulisan pegawai kolonial dan etnografer pada awal abad ini.
2. SUKU ANAK DALAM, sebutan ini digunakan oleh pemerintah melalui Departemen Sosial. Anak Dalam memiliki makna orang terbelakang yang tinggal di pedalaman. Karena itulah dalam perspektif pemerintah mereka harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan dimukimkan melalui program pemberdayaan KAT.
3. ORANG RIMBA, adalah sebutan yang digunakan oleh etnik ini untuk menyebut dirinya. Makna sebutan ini adalah menunjukkan jati diri mereka sebagai etnis yang mengembangkan kebudayaannya yang tidak bisa lepas dari hutan. Sebutan ini adalah yang paling proposional dan obyektif karena didasarkan kepada konsep Orang Rimba itu sendiri dalam menyebut dirinya

Sumber : http://www.boergala.com/

Rabu, Juli 23, 2008

Sado

Ingat sepenggal lagu daerah Jambi yang berjudul "Simpang Sado", yang baitnya berbunyi : simpang sado adonyo dimano, simpang sado adonyo di Kota Jambi. Lagu ini populer di tahun 1980-an.
Sado, merupakan alat transportasi tradisional daerah Jambi. Sado merupakan kereta yang memiliki ban dari kayu yang dibentuk berupa lingkaran yang diberi lapisan karet, dan ditarik oleh seekor kuda.
Namun oleh kemajuan zaman, semakin pesatnya perkembangan teknologi terutama alat sarana transportasi, fungsi dan populasi dari sado semakin menurun dihimpit oleh tekhnologi maju.
Sado, di masa sekarang hanya berfungsi sebagai sarana wisata yang di gunakan oleh wisatawan lokal (terutama anak2) maupun wisatawan asing untuk berkeliling Pasar Jambi.